Thursday, July 14, 2005

On Writing Quarter Life Fear

I never thought that I'd be able to write a novel. A book consisted of numerous poems, yes, probably. I have written hundreds--probably thousands--of poems, anyway. That shouldn't be hard. Or maybe the book will feature my short stories. That's not unthinkable. Maybe it will contain a few novellas of mine? Hmm, it's probable.

But a novel... wow. Wait a minute. Let me catch my breath. I have devoured (read, that is, not eat... well, in case you're wondering!) thousands of novels--maybe more (who keeps count, anyway?). Reading is easy. But writing that much? Could I do that? Nah, I told myself. Better stick to writing things that I'm comfortable with--like poems and short stories.

I kept finding excuses, like, I had no time, I was too tired to do it, etc. The truth is, I was afraid. What if I made a fool of myself? Thinking that I was capable of writing a novel--and publishing it, when in fact I was just somebody who thought too highly of oneself? What if the publishers rejected my manuscript? What if people thought I wasn't good enough? That I was just a silly wench with wild, crazy ideas?

Then I stumbled into one profound truth. How would I know, before trying to do it first? So I did. And surprise oh surprise, I was able to write a novel. And publish it! Granted, the process wasn't easy. Far from it. Yet it wasn't as difficult as I thought it would be.

So you see... Quarter Life Fear is a novel born out of fear... but also love. And I hope the readers will love the book. I sincerely hope they'll be able to manage their fear--turning it into something powerful and magnificent. Everyone has the ability to do that, I believe so.

6 comments:

Anonymous said...

it is better to try and fail then never to try at all

Anonymous said...

Bagus sekali Bu Donna. Great job!!!

Primadonna Angela said...

how true, see foo dear. :)

thank you for the compliment! eh anonymous ini sapa yah? thanks for appreciating my work.

Ririn said...

mbak,..
sesuatu yg gak mungkin jadi mungkin ya?
awalnya mbak gak percaya akan membuat suatu novel :)
tapi..sekarang atas semua yg mbak bilang mulai no time, tired...dan munculah novel mbak..

selamat ya..

semoga bisa sukses..

mbak bagi2 tips nulisnya ya.. :)

ririn_ts@ubaya.ac.id

Primadonna Angela said...

thanks... bagi-bagi tips nulis? wah. *garuk, garuk* kalo mau nanya2, monggo, e mail aja ya. siapa tau bisa membantu.

Anonymous said...

Waduh, mestinya kan great work, koq jadi great job? Hehehe...

Saya ulang lagi ya:

“Sembilan bulan lebih Mama mengandungmu. Menyusuimu. Mengurus segala macam keperluanmu. Membesarkan dirimu dengan susah payah. Lalu sekarang kamu berkata bahwa kamu takut merepotkan Mama? Oh, anakku, betapa sedikit engkau memahami ibumu, Naaaaak...”Air mata bergelimpangan di mana-mana. Aku sampai harus menghindar agar tidak kecipratan.

”Mama kan pengen ngebantu kamu, Nda. Mbok ya diterima, gitu. Ditolak itu kan nggak enak.”

Alkisah, di kota Bandung hidup seorang gadis gemuk bernama Belinda, yang bekerja di sebuah institusi pendidikan anak. Hidupnya terasa bagaikan tragedi, karena Mama Belinda seorang yang cantik (dan juga eksentrik) sedangkan Papanya seorang pengusaha yang sukses, sementara dirinya sendiri tidak mewarisi keunggulan kedua orang tuanya. Terkadang ia takut dirinya ternyata anak adopsi. Terkadang ia malah sebaliknya bersyukur kalau-kalau dirinya benar-benar anak adopsi, agar ia bebas dari tekanan untuk menyamai orang tuanya.

Belinda juga memiliki seorang sahabat sekaligus tetangga bernama Ine. Dengan Ine sejak bayi hingga memasuki dunia kerja Belinda selalu berbagi suka duka hidup. Mereka bahkan memiliki selimut persaudaraan, pertanda bahwa hubungan mereka sangat dekat.
Begitu dekat, sampai-sampai dengan santainya Ine tega berkata, “Lu tuh gak gendut-gendut amat. Seperti kata Garfield kan, bukannya overweight, tapi undertall.”

Yah, begitulah. Belinda memang tidak punya kecantikan, kecerdasan, dan kepribadian ala Miss Universe. Sedangkan, Ine, seperti Mama Belinda, berparas cantik, selalu jadi juara umum di sekolah, penampilannya trendy, gampang gonta-ganti pacar, dan karirnya jauh lebih moncer. (Jadinya Ine juga lebih mampu shopping.) Satu lagi, mereka berdua entah bagaimana dapat tetap langsing tanpa peduli apa yang mereka telan sementara Belinda harus mati-matian diet agar bisa langsing.

Tidak pernah bisa menjadi seperti Mama dan Ine, Belinda menjadi terobsesi pada mereka berdua. Sekarang Belinda sudah 25 tahun, karirnya mentok sebagai pengajar paruh waktu, dan belum punya pendamping hidup. Dunia yang kejam tampaknya enggan memberikan excuse dan waktu lagi pada Belinda dan segala kekurangannya. Belinda merasa tak berdaya, dan sebagai akibatnya, pada suatu pagi seorang dokter memvonis Belinda:
“Anak ibu kena penyakit quarter life fear. Ia tidak mau ulang tahunnya dirayakan.”
Mungkinkah Belinda meraih apa yang diinginkannya dalam hidup ini? Baca sendiri novel karya ibu satu anak ini dan bersiap-siaplah untuk plot yang, meminjam istilah Pak Arswendo, meledak dengan lembut.

Quarter Life Fear, terasa bagai sebuah novel komedi yang menghibur sekaligus mengobati jiwa dalam suatu masyarakat yang kecanduan gengsi, adu pamer dalam segala situasi dan kondisi. Jika dari buku Lifestyle David Chaney, dapat disimpulkan bahwa masyarakat sekarang adalah potret masyarakat pesolek, masyarakat yang
berprinsip "aku bergaya maka aku ada" maka dari buku ini pesan pengarangnya kebalikannya: Seperti Belinda, setiap orang, saya yakin, berhak untuk berbahagia dengan jalannya sendiri. Wah, saya merasa dikuatkan di hati setelah selesai membaca novel ini. Semoga saja saya juga punya ‘quarter life luck’ seperti Belinda.

Benar-benar hebat Bu Donna, eh, Bu eNna. Great Work! Selamat untuk novel pertamanya!

Match Up
Match each word in the left column with its synonym on the right. When finished, click Answer to see the results. Good luck!