written by my partner.
Halo dari Bandung. Tepatnya dari kamar yang lima menit sebelumnya menyaksikan pertarungan dramatis antara Ayah Amatiran melawan Popok Kotor.
Kedudukan sementara:
Popok Kotor vs Ayah Amatiran
----- 7 vs 1 -----
Bintang Tamu: Bayi yang Tanpa Aba-aba Akan Mengencingi Siapapun yang Membuka Celananya (15 kali).
Anyway, makasih buat ucapan selamat dan doanya. Alhamdulillah, proses kelahiran berlangsung normal dan lancar. Selancar apa? Kita mulai saja dari awal...
Proses Kelahiran
Dari tanggal 22 Juni, tanda-tanda jabang bayi dah siap-siap nongol udah muncul. Flek mulai keluar. Kontraksi ada walaupun belum teratur. Dan skala sakitnya masih beda-beda. Antara skala 1 ("Eh, kayaknya kontraksi, A.") hingga 3 ("Ow ow owwwwwwwwwwww!"). Aku dan donna sudah siap-siap stopwatch. Begitu jarak antar kontraksi udah di bawah lima menit dan lamanya ampe 40 detik, bakal segera dilarikan ke rumah sakit bersalin Limijati (Jalan Riau).
"A! A! A!" tangan Donna mengangkat minta perhatian.
"Oke, Nna!" Aku menyalakan stopwatch dengan sigap.
...beberapa lama kemudian...
"Udah," ujar Donna lemes.
"Sip!" Matikan stopwatch.
"Berapa lama?"
"Uhm... nggak tahu. Yang tadi lupa direset."
Untunglah wanita hamil tua tidak bisa bergerak cepat, hingga tidak terjadi kekerasan rumah tangga.
Dan ternyata baru enam hari kemudian mulai pembukaan satu. Berhubung ini kehamilan pertama, dokter sih menyarankan nyante aja dulu. Karena rata-rata naik ke pembukaan berikutnya tiap dua jam, sampai pembukaan empat atau lima. Setelah itu baru meningkat. Daripada berstres ria nunggu di rumah sakit dari jam satu siang, mendingan jalan-jalan aja.
Ya sudah... kami jalan-jalan deh. Kencan lagi. Makan di luar. Lihat-lihat buku. Dan seperti biasa mendapat tatapan curiga para penjaga toko saat belanja.
Gemuknya kehamilan Donna terfokus pada perut sih, hingga bagian tangan dan pipi masih terlihat normal. Jadi dikirain nyumputin susu kaleng, kali.
Sekitar jam empat, ternyata skala kontraksi menanjak ke empat (YOOOOW!). Kembali lah kami ke rumah sakit, hanya untuk mendapati bahwa pembukaannya masih dua. Ya sud. Sudah keburu ruang disiapkan, kami tempati saja dengan senang. Sempet maen-maen dengan dipan tidur yang ternyata bisa dinaikturunkan.
Sekitar jam enaman Donna mendengar suara "pop!" seperti balon pecah. Pemeriksaan cepat menemukan ketubannya sudah pecah. Donna pun segera dipindahkan ke kamar bersalin. Skala kontraksi menanjak drastis menjadi tujuh (WADDDDDDDDDDDDDDAAAAAAWWAAAAAA-WWWWWWAWAWAWAWAWAAAAAAAAAW--dan ini teriakanku karena genggaman tangan Donna keras banget.)
RSB Limijati ada kebijakan bahwa suami tidak boleh ikut menemani istri saat proses kelahiran atau pemeriksaan kecuali ada izin dokter. Sayangnya, mereka baru menginformasikan kebijakan tersebut saat itu juga. Jadi saya tertendang keluar. Baru diizinkan masuk lagi saat pemeriksaan beres.
Sempet ada potensi untuk drama sinetron, saat pembukaan sudah lewat delapan. Donna kayanya ngerasa kalo bakal brojol entar lagi, jadinya protes mulu. "Suster, mana suami saya!"
Sedikit kedengaran sampai keluar, jadinya kalau pengen bikin ribut sih bisa aja aku bales teriak, "Istriku!"
"Suamikuuuu!"
"Istrikuuuu!"
"Pasienkuuu!" Suster juga ikutan dramatis.
"Waktu tidurkuuuu!" Pasien yang lain protes.
Tapi aku ngerti kalau bidannya keliatan bukan tipe yang bakal ngelanggar aturan dalam keadaan apa pun. Jadi aku cuman bisa nunggu. Untunglah, nggak sampai 5 menit, dokternya sudah berlari-lari datang.
Langsung saja aku nanya, "Boleh ikut masuk, Dok?"
"Boleh!"
"Siiip!" ujarku menyeruak ke dalam.
"Eh, nggak boleh masuk, Mas!" protes Suster.
"Lho, udah ada ijin dokter, kok!"
"Iya, tapi ruang istri Mas di sebelah! Ini istri orang."
Singkat kata, proses kelahiran berlangsung normal dan lancar. Walaupun sempat ada adegan horor ala film Alien yang budgetnya berlebihan untuk bikin efek darah. Tapi Alhamdulillah ibu dan anak sehat-sehat saja.
Catatan untuk para calon suami yang akan menemani istrinya di kamar bersalin: Betapa pun mengagumkannya melihat dokter bisa menarik keluar bayi yang begitu besar dari rahim istri... harap tahan diri untuk tidak tepuk tangan. Ini bukan pertunjukan sulap.
Mengenai Nama
Sementara mengenai nama, aku dan Donna sudah cukup lama berdiskusi. Bahwa kita tidak ingin anak dibebani oleh nama.
Keluargaku sih cenderung ingin nama muslim yang bagus-bagus. Tapi aku sih realistis saja... saat masih SD, 5 dari 10 orang yang dipanggil ke ruang guru, namanya mengandung kata Muhammad atau Ahmad (artinya: yang terpercaya). Intinya, kita nggak percaya bahwa nama yang membebankan itu bakal membuat anak sesuai dengan harapan. Ada aja yang bisa, tapi banyak juga yang nggak.
Idealnya, kita ingin sang anak memilih namanya sendiri. Tapi sekarang tentu saja tidak bisa. Karena pilihan namanya hanya sedikit: Uwaaaa, Oeeee, ama Eneeeeee. Berarti, sebelum dia bisa menentukan mau jadi orang seperti apa, tentunya dia perlu panggilan lebih dari sekedar "Hei!" atau "Eh, cowok!"
Menimbang itu, aku dan Donna mempersiapkan nama sementara untuk anak kami, yaitu "Riordan Azad Zen."
"Riordan" dari bahasa Celt untuk "Bard." Jadi, walaupun tidak membebankan agar menjadi sesuatu sesuai keinginan orang tua. Tapi kita berharap agar sang anak dapat mengapresiasi musik dan penceritaan, sambil tetap bersosialisasi, sebagaimana seorang bard.
"Azad" dari bahasa Arab untuk "Free" dan "Independent." Biarkan sang anak bebas untuk memilih dan menjalani
hidupnya sendiri dengan konsekuensinya, dan secara mandiri.
"Zen" dari bahasa Jepang untuk "enlightenment" atau "pencerahan." Semoga apa pun pilihannya, ia senantiasa mendapatkan pencerahan.
Panggilannya adalah "Hei, cowok!"
Becanda. Panggilannya adalah Aza.
Nanti saat sang anak sudah dapat berpikir bagi diri sendiri (dan ini tidak otomatis muncul dengan usia). Ia dapat memilih sendiri nama dan mau jadi orang seperti apa. Kalau ia masih binun, bisa kita bantu dengan memberikan pilihan majemuk:
Saya, Riordan Azad Zen, akan menjadi...
a) Seperti ayahku yang baik
b) Seperti ayahku yang lucu
c) Seperti ibuku, yang, uhm... seperti ayahku aja lah karena ia berdiri di belakangku memegang buku tabungan pendidikanku.
No comments:
Post a Comment